Fakhruddin Al-Razi Studies adalah wadah untuk belajar bersama pemikiran-pemikiran tokoh pembaharu abad ke-7 H. dalam sejarah peradaban masyarakat islam.

Sabtu, 09 Januari 2021

Tafsir Mafatih al-Ghaib: Ragam Dimensi Pemikiran Fakhruddin al-Razi




Peran penting Tafsir Mafatih al-Ghaib tidak bisa dikesampingkan dalam upaya membaca perjalanan pemikiran Fakhruddin al-Razi (544-604 H.). Sebab, sebagaimana disampaikan oleh Fakhruddin al-Razi dalam Kitab al-'Arba'in fi Ushuliddin, klarifikasi spesifik (dari pemikiran-pemikiran al-Razi) ditulis dalam kitab Tafsir Kabir, nama lain dari Tafsir Mafatih al-Ghaib.


Disamping itu, urgensitas ini diantaranya untuk menguji penilaian-penilaian negatif yang banyak dialamatkan kepada al-Razi. Dengan ini juga, lebih lanjut, akan membantu kita bagaimana perkembangan teologi Asy'ariyah dari masa ke masa sampai periode al-Razi.


Dari ragam sudut pandang tersebut, tulisan ini hanya akan mendiskusikan ragam dimensi pendekatan yang digunakan oleh al-Razi dalam menulis kitab tafsir ini. Hal ini bertujuan untuk membaca titik awal intelektualitas al-Razi sepanjang hidupnya.


Fakhruddin al-Razi kerap disebut sebagai tokoh penting dalam teologi Asy'ariyyah. Hal tersebut sebagaimana dapat kita saksikan dari maksud kata "imam" yang disebutkan dalam kitab-kitab teologi Asy'ariyyah. Dalam artian, maksud dari kata tersebut adalah Fakhruddin al-Razi, sosok yang akan kita bicarakan dalam tulisan ini.


Anugerah khusus ini adalah buah usaha panjang al-Razi menggeluti bidang teologi. Pada usia belia, al-Razi sudah belajar disiplin teologis madzhab Asy'ari dari ayahnya sendiri, yang dikenal pada waktu itu sebagai tokoh teologi Asy'ariyyah, sebagaimana diakui oleh al-Subki.


Meskipun disebut-sebut sebagai tokoh penting dalam madzhab Asy'ariyyah, al-Razi dapat dikatakan bukan sosok yang hanya menikmati produk pemikiran tanpa sikap kritis. Kekritisan al-Razi diantaranya karena luasnya pengembaraan intelektual yang dilalui. Hal tersebut dengan mudah kita temukan nuansanya dalam karya-karya yang berhasil ia tulis, dengan gaya khasnya yang menggunakan metode dialektik.


Tafsir Mafatih al-Ghaib

pertama kali kita akan mendiskusikan karakteristik dari Tafsir Mafatih al-Ghaib. Kitab tafsir ini kerap dikategorikan sebagai tafsir bi al-ra'yi. Mayoritas metode ini diartikan sebagai tafsir dengan karakteristik dasarnya yang rasionalistik. Sebenarnya diperlukan kehati-hatian dalam menerjemahkan istilah ini, terlebih ketika disematkan pada Tafsir Mafatih al-Ghaib. Mengapa harus begitu?


Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebenarnya ada beberapa alasan, hanya saja dalam tulisan ini hanya akan disebutkan dua alasan saja. Pertama, memahami rasional sebagai kerja akal murni akan mengacaukan kita dalam membaca pemikiran al-Razi, terutama pemikirannya dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib. Sebab, banyak produk pemahaman al-Razi dalam kitab tafsir ini yang didasarkan atas pengalaman spiritual-sufistik.


Banyak sudut pandang terpengaruhnya al-Razi dengan perspektif sufistik. Diantaranya sebagaimana yang ditulis oleh Judah Muhammad Abu al-Yazid al-Mahdi dalam al-Ittijah al-Shufi Inda Aimmah al-Tafsir al-Qur'an al-Karim. Dalam buku tersebut, ia berhasil membuktikan beberapa contoh karakter tafsir sufistik yang dilakukan oleh al-Razi. Pendekatan sufistik yang dilakukan oleh al-Razi juga diakui oleh Muhammad Shalih Zarkan dalam bukunya yang berjudul Fakhruddin al-Razi wa Arauhu al-Kalamiyyah wa Falsafiyyah.



Namun, yang belum terbukti secara jelas adalah kapan awal mula al-Razi menggeluti pandangan-pandangan tasawuf yang pada akhirnya al-Razi memutuskan diri untuk berbaiat kepada Majduddin al-Baghdadi (w. 662 H.). Lantas, yang lebih penting lagi adalah bagaimana karakteristik tasawuf dalam benak al-Razi. Sayangnya, itu semua bukan titik fokus kita dalam diskusi kali ini.


Kedua, memahami ra'yi sebagai akal murni akan berkonsekuensi melupakan seluruh disiplin ilmu pengetahuan yang telah banyak dicetuskan oleh para intelektual, cendekiawan, dan pemikir sebelumnya. Dalam konteks ini, perlu kiranya kita menengok kembali klasifikasi ra'yul mamduh (terpuji) dan madzmum (tercela).


Klasifikasi ini sayangnya banyak disalahgunakan. Dalam artian, klasifikasi ini kerap digunakan untuk mendiskreditkan pemikiran yang berbeda madzhab atau kelompok. Menurut Nashr Hamid Abu Zayd (w. 2010), fenomena ini begitu mencolok dalam masyarakat muslim abad 5 dan 6 H. Oleh sebab itulah klasifikasi ini perlu direhabilitasi dengan serius. Sebab, apabila dibiarkan bisa berakibat negatif, yakni kompetisi yang terjadi bukan intelektualitas tapi sensitif kelompok.


Ragam Dimensi Keilmuan al-Razi

Untuk menjawab makna ra'yi terkait Tafsir Mafatih al-Ghaib perlu kiranya kita mendiskusikan ragam keilmuan yang berhasil dikuasai oleh al-Razi. Terkait dengan hal ini, Muhammad Shalih Zarkan menuliskan ada sembilan disiplin ilmu yang berhasil ditulis oleh al-Razi, yakni ilmu-ilmu rasional (filsafat, teologi, logika), ilmu-ilmu Arab (adab, balaghah, gramatikal), fiqh dan ushul fiqh, tafsir, sejarah, matematika (riyadhiyyah) dan ilmu pengetahuan alam (thabi'iyyah), kedokteran, firasat, astronomi, tasawuf (dawair al-ma'arif).


Keluasan pengalaman intelektual al-Razi diantaranya adalah karena ketekunan dan semangat yang tinggi untuk terus belajar. Ketekunan ini diantaranya bisa kita saksikan dari pernyataan al-Razi, sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahab al-Sya'rani (w. 973 H.) dalam al-Yawaqit wa al-Jawahir. Menurut al-Razi, wallahi innii aasif fi al-fawaat 'an al-isytighal bi al-'ilm fii waqt al-akl, fainna al-waqt wa al-zamaan 'aziiz. Secara sederhana bisa kita artikan sebagai berikut, demi Allah, saya menyesal apabila harus meninggalkan belajar ketika waktu makan, sesungguhnya waktu sangatlah berharga.


Dengan memperhatikan ragam disiplin ilmu yang dikuasai oleh al-Razi, sebenarnya dengan mudah kita akan dipaksa untuk melihat ulang maksud dari istilah tafsir bi al-ra'yi, sebagaimana penulis tawarkan di atas. Dalam hal ini, penulis sepakat dengan pandangan Abdullah Ali Ahmad al-Nasyami dalam bukunya Ikhtiyarat al-Imam al-Fakhr al-Razi fi al-Tafsir. Menurutnya, yang dimaksud dengan istilah tafsir bi al-ra'yi adalah ijtihad. Dengan ini, wilayah dan ruang lingkup kata al-ra'yi bukan hanya nalar-rasional, tetapi bisa juga memasukan perspektif spiritual-sufistik. 


Kesimpulan

Mengarungi bahtera keilmuan dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib tidak bisa tidak harus menyadari beragam dimensi pengetahuan yang telah berhasil dikuasai oleh al-Razi. Dengan melihat ragam disiplin ilmu yang dikuasai oleh al-Razi juga sangat membantu kita dalam upaya memahami pemikiran-pemikiran yang lahir dari al-Razi. Sebagaimana telah kita buktikan, bahwa istilah tafsir ra'yi tidak melulu rasional, al-Razi telah mengajarkan bagaimana melihat sesuatu tidak hanya melalui satu sudut pandang. Sebab dengan itulah keluasan ilmu Tuhan bisa kita sadari dan alami, meskipun yang kita lakukan baru secuil. Multi displiner inilah yang sempat dinasehatkan oleh Ibnu 'Arabi kepada al-Razi. Tulisan ini hanya satu titik kecil dari permulaan memahami pemikiran al-Razi.


Wallahu a'lam bi ash-shawab.


Oleh: A. Ade Pradiansyah

(Penikmat Kajian Pemikiran Fakhruddin al-Razi)


Ciputat, 10 Januari 2021

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms