Fakhruddin Al-Razi Studies adalah wadah untuk belajar bersama pemikiran-pemikiran tokoh pembaharu abad ke-7 H. dalam sejarah peradaban masyarakat islam.

Jumat, 01 Januari 2021

Fakhruddin al-Razi dan Tasawuf



Judul dalam tulisan ini adalah berangkat dari sebuah pertanyaan, bagaimana al-Razi menilai tasawwuf. Pertanyaan ini muncul karena berangkat dari gagasan umum yang menyatakan bahwa al-Razi adalah sosok rasionalis. Sedangkan menghadapkan antara rasional dan tasawuf adalah karena melihat bahwa keduanya sangat berbeda jauh terkait intrument yang digunakan dalam usaha mencari kebenaran.

Dalam hal ini, para sufi lebih menggunakan pendekatan hati (qalb) bukan rasio. Ajaran untuk senantiasa membersihkan hati dengan berbagai ritual ibadah adalah salah satu upaya mempertajam hati dalam upaya mencari kebenaran.

Tasawwuf Ditangan al-Razi

Nama al-Razi sangat diperhitungkan pada separuh akhir abad ke-6 dan separuh pertama abad ke-7. Thoha Jabi al-'Alwani menyebutkan bahwa sepanjang usianya, al-Razi menghabiskan waktunya untuk bergelut dengan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat rasional ('uluum al-'aqlii) dan pengetahuan informatif ('uluum al-naqlii).

Jacques Barque sempat memuji kepiawaian al-Razi dalam bukunya yang berjudul I'aadah Qira'ah al-Qur'an. Menurutnya, al-Razi adalah tokoh besar yang memahami ilmu ketuhanan dan telah membantu dalam upaya menjelaskan al-Qur'an.

Meskipun dikenal sebagai sosok yang rasionalis, al-Razi adalah pelaku tasawuf. Hal ini bisa kita saksikan al-Razi berbai'at tasawuf pertama kali kepada Majduddin al-Baghdadi. Hanya saja, menurut al-'Alwani, menilai bahwa al-Razi bukan pelaku tasawuf yang baik. Menurutnya, al-Razi lebih tepatnya hanyalah sosok yang menyukai (muhibbun) pada orang-orang sufi atau pelaku yang mencari kebenaran dengan cara membersihkan hati dengan prestasi akhir bahwa jiwa mampu untuk mengetahui Tuhannya, setelah melewati pembersihat hati tersebut.

Dalam dimensi tasawwuf, Muhammad al-Mahdi banyak memberikan bukti nilai-nilai sufistik yang disampaikan oleh al-Razi, terutama dalam karya monumentalnya, Tafsir Mafatih al-Ghaib. Meskipun dalam penjelasannya, al-Mahdi bertujuan untuk mencari penguat ilmiah tasawuf dalam berbagai aspek, yakni aspek rasio dan riwayat, namun ini menjadi catatan penting bagaimana al-Razi bergelut dengan dunia tasawuf.

Al-'Alwani mendasarkan kesimpulannya dari sikap al-Razi dalam bertasawuf. Suatu hari, al-Razi bertanya kepada syaikh Najmuddin, guru dari Majduddin, tentang ma'rifat. Dalam hal ini, al-Razi mengajukan pertanyaan, bagaimana cara mendapatkan pengetahuan-pengetahuan yang pasti, dimana jiwa seseorang tidak akan menolak kebenaran itu. Menurut Majduddin, dengan cara meninggalkan jabatan dan koleksi dunia yang ada ditanganmu. Akhirnya al-Razi menimpali, inilah yang tidak bisa saya lakukan. akhirnya al-Razi pergi dalam keadaan terdiam.

Al-'Alwani menilai ini adalah tindakan yang tidka sepatutnya dilakukan oleh pelaku tasawuf kepada gurunya. Itulah mengapa al-'Alwani menyebut al-Razi bukan pelaku tasawuf yang baik.

Hanya saja, keluar dari penilaian cerita diatas, al-Razi telah banyak berbicara nilai-nilai tasawwuf. Nasihat Ibnu 'Arabi melalui surat khususnya mungkin adalah awal langkah mengapa al-Razi mulai menapaki dunia tasawwuf.

Salah satu keterangan dalam tafsirnya, al-Razi menyebutkan bahwa untuk mendapatkan hidayah dapat dilakukan dengan dua cara, yakni melalui dalil serta argumentasi dan membersihkan jiwa dengan riyadhah. Keduanya, menurut al-Razi adalah cara yang bisa dilakukan dalam upaya mencari hakikat Tuhan. Tasawuf dalam konteks ini menurut al-Razi memiliki pembahasan yang dalam yang jarang bisa dilakukan oleh mayoritas umat manusia.

Dengan memperhatikan ini semua, pendekatan tasawuf dan rasional memiliki dimensinya masing-masing. Menurut al-Razi, melihat penjelasan di atas, pendekatan tasawuf tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Pendekatan rasional bukan satu-satunya cara untuk mendapatkan kebenaran. Kekecewaan al-Razi yang ditampilkan dalam penjelasan al-'Alwani, tidak serta merta dilihat sebagai ketidak patuhan seorang murid kepada gurunya. Oleh sebab itu, tidak sepatutnya al-Razi disebut sebagai pelaku tasawuf yang kurang baik.

Justru yang menjadi pertanyaan adalah, apakah al-Razi kecewa karena pada akhirnya ia harus tunduk bahwa pendekatan tasawuf belum bisa ia kolaborasikan dengan pendekatan rasio? Atau justru al-Razi sadar bahwa ia belum bisa merasakan kebenaran yang dihasilkan melalui pendekatan orang-orang tasawuf akibat ia belum mampu menapaki jalan tasawuf sebagaimana yang dilakukan oleh gurunya?


Oleh: A. Ade Pradiansyah

(Penikmat Kajian Pemikiran Fakhruddin al-Razi)

Ciputat, 02/01/2021

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms