Judul dalam tulisan ini
adalah berangkat dari sebuah pertanyaan, bagaimana al-Razi menilai tasawwuf.
Pertanyaan ini muncul karena berangkat dari gagasan umum yang menyatakan bahwa
al-Razi adalah sosok rasionalis. Sedangkan menghadapkan antara rasional dan
tasawuf adalah karena melihat bahwa keduanya sangat berbeda jauh terkait
intrument yang digunakan dalam usaha mencari kebenaran.
Dalam hal ini, para
sufi lebih menggunakan pendekatan hati (qalb) bukan rasio. Ajaran untuk
senantiasa membersihkan hati dengan berbagai ritual ibadah adalah salah satu
upaya mempertajam hati dalam upaya mencari kebenaran.
Tasawwuf Ditangan
al-Razi
Nama al-Razi sangat diperhitungkan
pada separuh akhir abad ke-6 dan separuh pertama abad ke-7. Thoha Jabi
al-'Alwani menyebutkan bahwa sepanjang usianya, al-Razi menghabiskan waktunya
untuk bergelut dengan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat rasional ('uluum
al-'aqlii) dan pengetahuan informatif ('uluum al-naqlii).
Jacques Barque sempat
memuji kepiawaian al-Razi dalam bukunya yang berjudul I'aadah Qira'ah
al-Qur'an. Menurutnya, al-Razi adalah tokoh besar yang memahami ilmu
ketuhanan dan telah membantu dalam upaya menjelaskan al-Qur'an.
Meskipun dikenal
sebagai sosok yang rasionalis, al-Razi adalah pelaku tasawuf. Hal ini bisa kita
saksikan al-Razi berbai'at tasawuf pertama kali kepada Majduddin al-Baghdadi.
Hanya saja, menurut al-'Alwani, menilai bahwa al-Razi bukan pelaku tasawuf yang
baik. Menurutnya, al-Razi lebih tepatnya hanyalah sosok yang menyukai (muhibbun)
pada orang-orang sufi atau pelaku yang mencari kebenaran dengan cara
membersihkan hati dengan prestasi akhir bahwa jiwa mampu untuk mengetahui
Tuhannya, setelah melewati pembersihat hati tersebut.
Dalam dimensi tasawwuf,
Muhammad al-Mahdi banyak memberikan bukti nilai-nilai sufistik yang disampaikan
oleh al-Razi, terutama dalam karya monumentalnya, Tafsir Mafatih al-Ghaib.
Meskipun dalam penjelasannya, al-Mahdi bertujuan untuk mencari penguat ilmiah
tasawuf dalam berbagai aspek, yakni aspek rasio dan riwayat, namun ini menjadi
catatan penting bagaimana al-Razi bergelut dengan dunia tasawuf.
Al-'Alwani mendasarkan
kesimpulannya dari sikap al-Razi dalam bertasawuf. Suatu hari, al-Razi bertanya
kepada syaikh Najmuddin, guru dari Majduddin, tentang ma'rifat. Dalam hal ini,
al-Razi mengajukan pertanyaan, bagaimana cara mendapatkan
pengetahuan-pengetahuan yang pasti, dimana jiwa seseorang tidak akan menolak
kebenaran itu. Menurut Majduddin, dengan cara meninggalkan jabatan dan koleksi
dunia yang ada ditanganmu. Akhirnya al-Razi menimpali, inilah yang tidak bisa
saya lakukan. akhirnya al-Razi pergi dalam keadaan terdiam.
Al-'Alwani menilai ini
adalah tindakan yang tidka sepatutnya dilakukan oleh pelaku tasawuf kepada
gurunya. Itulah mengapa al-'Alwani menyebut al-Razi bukan pelaku tasawuf yang
baik.
Hanya saja, keluar dari
penilaian cerita diatas, al-Razi telah banyak berbicara nilai-nilai tasawwuf. Nasihat
Ibnu 'Arabi melalui surat khususnya mungkin adalah awal langkah mengapa al-Razi
mulai menapaki dunia tasawwuf.
Salah satu keterangan dalam
tafsirnya, al-Razi menyebutkan bahwa untuk mendapatkan hidayah dapat dilakukan dengan
dua cara, yakni melalui dalil serta argumentasi dan membersihkan jiwa dengan riyadhah.
Keduanya, menurut al-Razi adalah cara yang bisa dilakukan dalam upaya mencari hakikat
Tuhan. Tasawuf dalam konteks ini menurut al-Razi memiliki pembahasan yang dalam
yang jarang bisa dilakukan oleh mayoritas umat manusia.
Dengan memperhatikan ini
semua, pendekatan tasawuf dan rasional memiliki dimensinya masing-masing. Menurut
al-Razi, melihat penjelasan di atas, pendekatan tasawuf tidak bisa dipandang dengan
sebelah mata. Pendekatan rasional bukan satu-satunya cara untuk mendapatkan kebenaran.
Kekecewaan al-Razi yang ditampilkan dalam penjelasan al-'Alwani, tidak serta merta
dilihat sebagai ketidak patuhan seorang murid kepada gurunya. Oleh sebab itu, tidak
sepatutnya al-Razi disebut sebagai pelaku tasawuf yang kurang baik.
Justru yang menjadi pertanyaan
adalah, apakah al-Razi kecewa karena pada akhirnya ia harus tunduk bahwa pendekatan
tasawuf belum bisa ia kolaborasikan dengan pendekatan rasio? Atau justru al-Razi
sadar bahwa ia belum bisa merasakan kebenaran yang dihasilkan melalui pendekatan
orang-orang tasawuf akibat ia belum mampu menapaki jalan tasawuf sebagaimana yang
dilakukan oleh gurunya?
Oleh: A. Ade Pradiansyah
(Penikmat Kajian Pemikiran Fakhruddin al-Razi)
Ciputat, 02/01/2021
0 komentar:
Posting Komentar