Fakhruddin Al-Razi Studies adalah wadah untuk belajar bersama pemikiran-pemikiran tokoh pembaharu abad ke-7 H. dalam sejarah peradaban masyarakat islam.

Jumat, 29 Januari 2021

Spiritualisme: Dimensi Pemikiran al-Razi yang Jarang Dilihat



Ada beberapa pengkaji al-Razi yang menyinggung pemikiran al-Razi dalam perspektif spiritualismenya. Meskipun tidak sebanyak pengkaji yang menyoroti dimensi rasionalnya. Diantara yang menaruh perhatian dalam kajian spiritualisme al-Razi adalah Judah Muhammad Abu al-Yazid al-Mahdi. Terkait perspektif ini, al-Mahdi menuliskannya dalam buku al-Ittijah al-Shufi 'Inda Aimmah Tafsir al-Qur'an al-Karim.


Buku ini adalah kompilasi tokoh-tokoh tafsir. Sudut pandang yang diambil adalah dimensi tasawufnya. Ada lima tokoh tafsir yang dimuat dalam buku ini. Diantaranya adalah Fakhruddin al-Razi. 


Selain al-Mahdi, Ahmad Mahmud Jazzar juga menulis buku yang mengurai dimensi tasawuf al-Razi. Buku tersebut diberi judul Fakhruddin al-Razi wa al-Tashawwuf


Sebagaimana al-Mahdi, Walid Munir ketika memberi kata pengantar buku Fakhruddin al-Razi wa Mushannafatuhu, karya Thaha Jabir al-'Alwani, menyatakan bahwa dimensi tasawuf dari ragam dimensi pemikiran al-Razi justru jarang dilirik oleh para pengkajinya. Meskipun dalam tulisannya, Munir menilai bahwa dimensi rasional al-Razi justru lebih dominan daripada semangat spiritualnya. Namun, menurutnya, al-Razi terus berusaha sekuat tenaganya agar antara rasiinal dan spiritual yang ada dalam dirinya bisa seimbang.


Terlepas dari apa yang menjadi penilaian Munir, Bathas Kubra Zadah dalam Miftah al-Sa'adah wa Mishbah al-Siyadah justru menyatakan sebagai berikut: 


وَاعْلَمْ أَنَّ الإِمَامَ كَانَ مِنْ زُمْرَةِ الفُقَهَاءِ ثُمَّ إِلْتَحَقَ بِالصُّوْفِيَّةِ فَصَارَ مِنْ أَهْلِ المُشَاهَدَةِ وَصَنَفَ التَّفْسِيْرَ بَعْدَ ذٰلِكَ وَمَنْ تَأَمَّلَ فِيْ مَبَاحِثِهِ وَتَصَفُّحِ لَطَائِفِهِ يَجِدُ فِيْ أَثْنَاءِهِ كَلِمَاتِ اَهْلِ التَّصَوُّفِ مِنَ الأُمُوْرِ الذَّوْقِيَّةِ


"Ketahuilah, bahwa al-imam (Fakhruddin al-Razi) pada mulanya tergolong dalam lingkaran fuqaha (ahli fiqh). Namun kemudian setelah ia bersinggungan dengan para pelaku tasawuf, akhirnya al-Razi menjadi pengikut tasawuf. Ia menulis tafsirnya setelah periode ini (setelah memasuki dunia tasawuf). Siapaun yang memperhatikan dengan seksama pembahasan-pembahasan dalam tafsir al-Razi, maka ia akan menemukan pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh tasawuf terkait problematika intuitif".


Dalam penjelasan Zadah, al-Razi pada akhirnya memilih untuk menjadi pelaku suluk. Sebuah jalan untuk menuju Tuhan dengan menggunakan konsep pembersihan hati dan diri dalam terminologi sufistik. Sebelumnya, al-Razi telah memberi penilaian bahwa apa yang dilakukan oleh orang-orang tasawuf adalah cara yang baik dan benar. Pernyataan ini sebagaimana yang ia tuliskan dalam bukunya yang berjudul I'tiqadat Firaq al-Muslimin wa al-Musyrikin


Bagi al-Razi, upaya untuk menjelaskan kelompok-sekte yang terjadi dalam tubuh umat islam tanpa menyertakan atau mengulas tentang kelompok sufisme ada kesalahan besar. Menurutnya:


إِعْلَمْ أَنَّ اَكْثَرَ مَنْ قَصَّ فِرَقَ الأُمَّةِ لَمْ يَذْكُرْ الصُوْفِيَّةَ وَذٰلِكَ خَطَأٌ لِأَنَّ حَاصِلَ قَوْلِ الصُّوْفِيَّةِ أَنَّ الطَّرِيْقَ إِلَى مَعْرِفَةِ اللّٰهِ تَعَالَى هُوَ التَّصْفِيَّةُ وَالتَّجَرُّدُ مِنَ العَلَائِقِ البَدَنِيَّةِ وَهٰذَا طَرِيْقٌ حَسَنٌ


"Ketahuilah. Bahwa mayoritas penulis yang menjelaskan tentang sekte-sekte dalam tubuh umat islam tidak menjelaskan tentang kelompok sufisme. Ini adalah kesalahan. Sebab, kesimpulan dari pernyataan ahli tasawuf adalah bahwa jalan untuk bisa mengetahui Allah adalah dengan cara membersihkan diri dan memutus mata rantai dari hal-hal yang bersifat duniawi. Dan ini adalah langkah atau cara yang bagus".


Perihal masuknya al-Razi dalam dunia tasawuf, menurut al-Mahdi, adalah karena pengaruh dari Najmuddin al-Kubra dan Ibnu 'Arabi. Apabila kita sebentar menengok jauh kebelakang, setelah belajar kepada ayahnya, al-Razi belajar kepada Majduddin al-Jili, salah satu sahabat dari murid al-Ghazali, Muhammad bin Yahya. Disinilah al-Razi bersinggungan dengan Syuhrawardi al-Maqtul. Sebagaimana yang disebutkan oleh Khanjir Hamiyyah, Syuhrawardi al-Maqtul adalah bapak filsafat iluminatif (abb hikmah isyraqiyyah). Hanya saja, asumsi yang terakhir ini tidak perlu kita baca sebagai alasan mengapa al-Razi memilih untuk bergabung dalam barisan tasawuf.


Hanya saja, al-Razi justru melakukan sumpah tasawufnya (talqin) kepada Majduddin al-Baghdadi, murid spiritual dari Najmuddin Kubra.


Oleh: A. Ade Pradiansyah

(Penikmat Kajian Pemikiran Fakhruddin al-Razi)


Ciputat, 29 Januari 2021


Sabtu, 09 Januari 2021

Tafsir Mafatih al-Ghaib: Ragam Dimensi Pemikiran Fakhruddin al-Razi




Peran penting Tafsir Mafatih al-Ghaib tidak bisa dikesampingkan dalam upaya membaca perjalanan pemikiran Fakhruddin al-Razi (544-604 H.). Sebab, sebagaimana disampaikan oleh Fakhruddin al-Razi dalam Kitab al-'Arba'in fi Ushuliddin, klarifikasi spesifik (dari pemikiran-pemikiran al-Razi) ditulis dalam kitab Tafsir Kabir, nama lain dari Tafsir Mafatih al-Ghaib.


Disamping itu, urgensitas ini diantaranya untuk menguji penilaian-penilaian negatif yang banyak dialamatkan kepada al-Razi. Dengan ini juga, lebih lanjut, akan membantu kita bagaimana perkembangan teologi Asy'ariyah dari masa ke masa sampai periode al-Razi.


Dari ragam sudut pandang tersebut, tulisan ini hanya akan mendiskusikan ragam dimensi pendekatan yang digunakan oleh al-Razi dalam menulis kitab tafsir ini. Hal ini bertujuan untuk membaca titik awal intelektualitas al-Razi sepanjang hidupnya.


Fakhruddin al-Razi kerap disebut sebagai tokoh penting dalam teologi Asy'ariyyah. Hal tersebut sebagaimana dapat kita saksikan dari maksud kata "imam" yang disebutkan dalam kitab-kitab teologi Asy'ariyyah. Dalam artian, maksud dari kata tersebut adalah Fakhruddin al-Razi, sosok yang akan kita bicarakan dalam tulisan ini.


Anugerah khusus ini adalah buah usaha panjang al-Razi menggeluti bidang teologi. Pada usia belia, al-Razi sudah belajar disiplin teologis madzhab Asy'ari dari ayahnya sendiri, yang dikenal pada waktu itu sebagai tokoh teologi Asy'ariyyah, sebagaimana diakui oleh al-Subki.


Meskipun disebut-sebut sebagai tokoh penting dalam madzhab Asy'ariyyah, al-Razi dapat dikatakan bukan sosok yang hanya menikmati produk pemikiran tanpa sikap kritis. Kekritisan al-Razi diantaranya karena luasnya pengembaraan intelektual yang dilalui. Hal tersebut dengan mudah kita temukan nuansanya dalam karya-karya yang berhasil ia tulis, dengan gaya khasnya yang menggunakan metode dialektik.


Tafsir Mafatih al-Ghaib

pertama kali kita akan mendiskusikan karakteristik dari Tafsir Mafatih al-Ghaib. Kitab tafsir ini kerap dikategorikan sebagai tafsir bi al-ra'yi. Mayoritas metode ini diartikan sebagai tafsir dengan karakteristik dasarnya yang rasionalistik. Sebenarnya diperlukan kehati-hatian dalam menerjemahkan istilah ini, terlebih ketika disematkan pada Tafsir Mafatih al-Ghaib. Mengapa harus begitu?


Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebenarnya ada beberapa alasan, hanya saja dalam tulisan ini hanya akan disebutkan dua alasan saja. Pertama, memahami rasional sebagai kerja akal murni akan mengacaukan kita dalam membaca pemikiran al-Razi, terutama pemikirannya dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib. Sebab, banyak produk pemahaman al-Razi dalam kitab tafsir ini yang didasarkan atas pengalaman spiritual-sufistik.


Banyak sudut pandang terpengaruhnya al-Razi dengan perspektif sufistik. Diantaranya sebagaimana yang ditulis oleh Judah Muhammad Abu al-Yazid al-Mahdi dalam al-Ittijah al-Shufi Inda Aimmah al-Tafsir al-Qur'an al-Karim. Dalam buku tersebut, ia berhasil membuktikan beberapa contoh karakter tafsir sufistik yang dilakukan oleh al-Razi. Pendekatan sufistik yang dilakukan oleh al-Razi juga diakui oleh Muhammad Shalih Zarkan dalam bukunya yang berjudul Fakhruddin al-Razi wa Arauhu al-Kalamiyyah wa Falsafiyyah.



Namun, yang belum terbukti secara jelas adalah kapan awal mula al-Razi menggeluti pandangan-pandangan tasawuf yang pada akhirnya al-Razi memutuskan diri untuk berbaiat kepada Majduddin al-Baghdadi (w. 662 H.). Lantas, yang lebih penting lagi adalah bagaimana karakteristik tasawuf dalam benak al-Razi. Sayangnya, itu semua bukan titik fokus kita dalam diskusi kali ini.


Kedua, memahami ra'yi sebagai akal murni akan berkonsekuensi melupakan seluruh disiplin ilmu pengetahuan yang telah banyak dicetuskan oleh para intelektual, cendekiawan, dan pemikir sebelumnya. Dalam konteks ini, perlu kiranya kita menengok kembali klasifikasi ra'yul mamduh (terpuji) dan madzmum (tercela).


Klasifikasi ini sayangnya banyak disalahgunakan. Dalam artian, klasifikasi ini kerap digunakan untuk mendiskreditkan pemikiran yang berbeda madzhab atau kelompok. Menurut Nashr Hamid Abu Zayd (w. 2010), fenomena ini begitu mencolok dalam masyarakat muslim abad 5 dan 6 H. Oleh sebab itulah klasifikasi ini perlu direhabilitasi dengan serius. Sebab, apabila dibiarkan bisa berakibat negatif, yakni kompetisi yang terjadi bukan intelektualitas tapi sensitif kelompok.


Ragam Dimensi Keilmuan al-Razi

Untuk menjawab makna ra'yi terkait Tafsir Mafatih al-Ghaib perlu kiranya kita mendiskusikan ragam keilmuan yang berhasil dikuasai oleh al-Razi. Terkait dengan hal ini, Muhammad Shalih Zarkan menuliskan ada sembilan disiplin ilmu yang berhasil ditulis oleh al-Razi, yakni ilmu-ilmu rasional (filsafat, teologi, logika), ilmu-ilmu Arab (adab, balaghah, gramatikal), fiqh dan ushul fiqh, tafsir, sejarah, matematika (riyadhiyyah) dan ilmu pengetahuan alam (thabi'iyyah), kedokteran, firasat, astronomi, tasawuf (dawair al-ma'arif).


Keluasan pengalaman intelektual al-Razi diantaranya adalah karena ketekunan dan semangat yang tinggi untuk terus belajar. Ketekunan ini diantaranya bisa kita saksikan dari pernyataan al-Razi, sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahab al-Sya'rani (w. 973 H.) dalam al-Yawaqit wa al-Jawahir. Menurut al-Razi, wallahi innii aasif fi al-fawaat 'an al-isytighal bi al-'ilm fii waqt al-akl, fainna al-waqt wa al-zamaan 'aziiz. Secara sederhana bisa kita artikan sebagai berikut, demi Allah, saya menyesal apabila harus meninggalkan belajar ketika waktu makan, sesungguhnya waktu sangatlah berharga.


Dengan memperhatikan ragam disiplin ilmu yang dikuasai oleh al-Razi, sebenarnya dengan mudah kita akan dipaksa untuk melihat ulang maksud dari istilah tafsir bi al-ra'yi, sebagaimana penulis tawarkan di atas. Dalam hal ini, penulis sepakat dengan pandangan Abdullah Ali Ahmad al-Nasyami dalam bukunya Ikhtiyarat al-Imam al-Fakhr al-Razi fi al-Tafsir. Menurutnya, yang dimaksud dengan istilah tafsir bi al-ra'yi adalah ijtihad. Dengan ini, wilayah dan ruang lingkup kata al-ra'yi bukan hanya nalar-rasional, tetapi bisa juga memasukan perspektif spiritual-sufistik. 


Kesimpulan

Mengarungi bahtera keilmuan dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib tidak bisa tidak harus menyadari beragam dimensi pengetahuan yang telah berhasil dikuasai oleh al-Razi. Dengan melihat ragam disiplin ilmu yang dikuasai oleh al-Razi juga sangat membantu kita dalam upaya memahami pemikiran-pemikiran yang lahir dari al-Razi. Sebagaimana telah kita buktikan, bahwa istilah tafsir ra'yi tidak melulu rasional, al-Razi telah mengajarkan bagaimana melihat sesuatu tidak hanya melalui satu sudut pandang. Sebab dengan itulah keluasan ilmu Tuhan bisa kita sadari dan alami, meskipun yang kita lakukan baru secuil. Multi displiner inilah yang sempat dinasehatkan oleh Ibnu 'Arabi kepada al-Razi. Tulisan ini hanya satu titik kecil dari permulaan memahami pemikiran al-Razi.


Wallahu a'lam bi ash-shawab.


Oleh: A. Ade Pradiansyah

(Penikmat Kajian Pemikiran Fakhruddin al-Razi)


Ciputat, 10 Januari 2021

Jumat, 01 Januari 2021

Fakhruddin al-Razi dan Tasawuf



Judul dalam tulisan ini adalah berangkat dari sebuah pertanyaan, bagaimana al-Razi menilai tasawwuf. Pertanyaan ini muncul karena berangkat dari gagasan umum yang menyatakan bahwa al-Razi adalah sosok rasionalis. Sedangkan menghadapkan antara rasional dan tasawuf adalah karena melihat bahwa keduanya sangat berbeda jauh terkait intrument yang digunakan dalam usaha mencari kebenaran.

Dalam hal ini, para sufi lebih menggunakan pendekatan hati (qalb) bukan rasio. Ajaran untuk senantiasa membersihkan hati dengan berbagai ritual ibadah adalah salah satu upaya mempertajam hati dalam upaya mencari kebenaran.

Tasawwuf Ditangan al-Razi

Nama al-Razi sangat diperhitungkan pada separuh akhir abad ke-6 dan separuh pertama abad ke-7. Thoha Jabi al-'Alwani menyebutkan bahwa sepanjang usianya, al-Razi menghabiskan waktunya untuk bergelut dengan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat rasional ('uluum al-'aqlii) dan pengetahuan informatif ('uluum al-naqlii).

Jacques Barque sempat memuji kepiawaian al-Razi dalam bukunya yang berjudul I'aadah Qira'ah al-Qur'an. Menurutnya, al-Razi adalah tokoh besar yang memahami ilmu ketuhanan dan telah membantu dalam upaya menjelaskan al-Qur'an.

Meskipun dikenal sebagai sosok yang rasionalis, al-Razi adalah pelaku tasawuf. Hal ini bisa kita saksikan al-Razi berbai'at tasawuf pertama kali kepada Majduddin al-Baghdadi. Hanya saja, menurut al-'Alwani, menilai bahwa al-Razi bukan pelaku tasawuf yang baik. Menurutnya, al-Razi lebih tepatnya hanyalah sosok yang menyukai (muhibbun) pada orang-orang sufi atau pelaku yang mencari kebenaran dengan cara membersihkan hati dengan prestasi akhir bahwa jiwa mampu untuk mengetahui Tuhannya, setelah melewati pembersihat hati tersebut.

Dalam dimensi tasawwuf, Muhammad al-Mahdi banyak memberikan bukti nilai-nilai sufistik yang disampaikan oleh al-Razi, terutama dalam karya monumentalnya, Tafsir Mafatih al-Ghaib. Meskipun dalam penjelasannya, al-Mahdi bertujuan untuk mencari penguat ilmiah tasawuf dalam berbagai aspek, yakni aspek rasio dan riwayat, namun ini menjadi catatan penting bagaimana al-Razi bergelut dengan dunia tasawuf.

Al-'Alwani mendasarkan kesimpulannya dari sikap al-Razi dalam bertasawuf. Suatu hari, al-Razi bertanya kepada syaikh Najmuddin, guru dari Majduddin, tentang ma'rifat. Dalam hal ini, al-Razi mengajukan pertanyaan, bagaimana cara mendapatkan pengetahuan-pengetahuan yang pasti, dimana jiwa seseorang tidak akan menolak kebenaran itu. Menurut Majduddin, dengan cara meninggalkan jabatan dan koleksi dunia yang ada ditanganmu. Akhirnya al-Razi menimpali, inilah yang tidak bisa saya lakukan. akhirnya al-Razi pergi dalam keadaan terdiam.

Al-'Alwani menilai ini adalah tindakan yang tidka sepatutnya dilakukan oleh pelaku tasawuf kepada gurunya. Itulah mengapa al-'Alwani menyebut al-Razi bukan pelaku tasawuf yang baik.

Hanya saja, keluar dari penilaian cerita diatas, al-Razi telah banyak berbicara nilai-nilai tasawwuf. Nasihat Ibnu 'Arabi melalui surat khususnya mungkin adalah awal langkah mengapa al-Razi mulai menapaki dunia tasawwuf.

Salah satu keterangan dalam tafsirnya, al-Razi menyebutkan bahwa untuk mendapatkan hidayah dapat dilakukan dengan dua cara, yakni melalui dalil serta argumentasi dan membersihkan jiwa dengan riyadhah. Keduanya, menurut al-Razi adalah cara yang bisa dilakukan dalam upaya mencari hakikat Tuhan. Tasawuf dalam konteks ini menurut al-Razi memiliki pembahasan yang dalam yang jarang bisa dilakukan oleh mayoritas umat manusia.

Dengan memperhatikan ini semua, pendekatan tasawuf dan rasional memiliki dimensinya masing-masing. Menurut al-Razi, melihat penjelasan di atas, pendekatan tasawuf tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Pendekatan rasional bukan satu-satunya cara untuk mendapatkan kebenaran. Kekecewaan al-Razi yang ditampilkan dalam penjelasan al-'Alwani, tidak serta merta dilihat sebagai ketidak patuhan seorang murid kepada gurunya. Oleh sebab itu, tidak sepatutnya al-Razi disebut sebagai pelaku tasawuf yang kurang baik.

Justru yang menjadi pertanyaan adalah, apakah al-Razi kecewa karena pada akhirnya ia harus tunduk bahwa pendekatan tasawuf belum bisa ia kolaborasikan dengan pendekatan rasio? Atau justru al-Razi sadar bahwa ia belum bisa merasakan kebenaran yang dihasilkan melalui pendekatan orang-orang tasawuf akibat ia belum mampu menapaki jalan tasawuf sebagaimana yang dilakukan oleh gurunya?


Oleh: A. Ade Pradiansyah

(Penikmat Kajian Pemikiran Fakhruddin al-Razi)

Ciputat, 02/01/2021

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms